Antara Waktu dan Kenangan
Malam itu, hujan turun dengan lebat. Suara gerimis yang jatuh di atas atap rumah kontrakan membuatnya terasa semakin sepi. Di sudut ruang, Rani duduk termenung, menggenggam sebuah surat yang sudah mulai rapuh di tangannya. Surat itu dari Arya, kekasih yang baru saja pergi.
“Aku akan kembali, Rani. Tunggu aku,” kata Arya dalam surat terakhirnya yang ditulis beberapa minggu lalu, sebelum dia harus pergi untuk mengejar mimpinya ke luar negeri.
Namun kenyataan tak seindah harapan. Rani tidak pernah menduga bahwa perpisahan mereka akan lebih lama dari yang dia bayangkan. Arya pergi tanpa kabar, tanpa memberi tanda apa pun. Rani tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, hanya menunggu dengan penuh harapan bahwa suatu hari dia akan kembali.
Sejak kepergian Arya, hidup Rani berubah. Setiap hari terasa hampa. Di antara kesibukan kerjanya, pikirannya selalu kembali pada satu orang itu—seseorang yang pernah menjadi alasan senyum di wajahnya. Mereka sudah melewati begitu banyak kenangan bersama. Mereka berjanji akan saling menunggu, meski waktu dan jarak mencoba memisahkan mereka.
Tetapi sekarang, segala yang ada hanyalah bayangan. Bayangan senyum Arya yang pernah mengisi hari-harinya.
Hari-hari berlalu, dan satu per satu teman-temannya mulai menanyakan tentang kabar Arya. “Kamu sudah dengar kabar dari Arya?” tanya Dian, sahabatnya, ketika mereka bertemu di sebuah kafe. “Aku dengar dia sudah kembali ke kota.”
Rani terdiam. Hatinya berdegup kencang, ada harapan yang kembali muncul. “Benarkah?” tanya Rani, suaranya sedikit bergetar.
Dian mengangguk. “Iya, dia ada di kota sekarang. Tapi, katanya dia sudah punya pacar baru.”
Rani merasa dunia seakan berhenti sejenak. Pacar baru? Kenapa? Bagaimana bisa? Kenapa tidak memberitahunya? Kenapa dia harus tahu kabar itu dari orang lain?
Kecewa, marah, dan bingung, semuanya bercampur aduk. Tapi, meskipun hatinya sakit, dia berusaha untuk tidak menunjukkan apa-apa. Di rumah kontrakan yang sunyi itu, Rani kembali duduk memandangi surat dari Arya. Tulisannya yang dulu begitu indah, kini terasa seperti pedang yang menusuk hati.
Hari itu, Rani membuat keputusan. Dia tidak bisa terus begini, terjebak dalam kenangan yang tak pasti. Jika Arya sudah melupakan dia, maka dia pun harus melepaskan semua itu. Meskipun sulit, Rani tahu dia harus pergi. Dia harus mencari kebahagiaan tanpa menunggu sesuatu yang tak pasti.
Beberapa bulan kemudian, Rani berada di sebuah tempat yang jauh dari kota asalnya. Dia memulai hidup baru, jauh dari kenangan yang menyakitkan. Di sebuah taman kota, dia duduk sendiri di bawah pohon rindang. Angin sore yang sejuk membawa ketenangan. Dia mulai merasa sedikit lebih baik, meskipun hatinya masih menyimpan luka yang belum sepenuhnya sembuh.
Tiba-tiba, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Rani membuka pesan itu dengan tangan yang sedikit gemetar.
“Rani… aku minta maaf. Aku tahu aku sudah membuatmu terluka. Aku kembali ke kota, tapi aku tahu aku sudah kehilangan kesempatan untuk berada di sampingmu. Aku tidak pernah berhenti mencintaimu.”
Pesan itu datang dari Arya.
Rani terdiam. Matahari yang mulai tenggelam di ufuk barat seolah ikut merasakan kesedihannya. Hatinya rasanya ingin hancur, tetapi ada sesuatu yang lain juga yang mulai terasa—sebuah rasa lega, meski tidak bisa sepenuhnya menjawab pertanyaan yang mengganjal hatinya. Mengapa dia baru datang sekarang? Mengapa harus ada semua rasa sakit ini?
Namun, meski hatinya terluka, Rani tahu jawabannya. Cinta bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Ia memilih untuk memaafkan. Meski tidak bisa kembali, meski Arya telah pergi dengan kenangannya, Rani tahu satu hal: dia harus belajar untuk mencintai dirinya sendiri.
Pesan itu berakhir, tapi Rani hanya membalas dengan satu kalimat sederhana, yang mungkin paling bijaksana: “Terima kasih sudah pernah ada dalam hidupku, Arya. Semoga kita menemukan kebahagiaan kita masing-masing.”
Malam itu, Rani menatap bintang-bintang di langit. Dia tahu hidup akan terus berjalan, dan meski terkadang berat, dia harus belajar menerima kenyataan—bahwa ada waktu untuk bertemu, dan ada waktu untuk melepaskan.
Dengan itu, hatinya mulai pulih, pelan-pelan. Keputusan untuk move on memang tak mudah, tetapi Rani tahu, dia akan baik-baik saja. Cinta itu indah, meski kadang ia datang dan pergi seperti angin.
Calendar
M | T | W | T | F | S | S |
---|---|---|---|---|---|---|
1 | ||||||
2 | 3 | 4 | 5 | 6 | 7 | 8 |
9 | 10 | 11 | 12 | 13 | 14 | 15 |
16 | 17 | 18 | 19 | 20 | 21 | 22 |
23 | 24 | 25 | 26 | 27 | 28 | 29 |
30 | 31 |
Leave a Reply